Film biopik memiliki varian cerita yang luas, seiring dengan bervariasinya cerita tokoh yang diangkat ke dalam film. Seiring berjalannya waktu, tokoh-tokoh yang diangkat ke dalam film biopik mengalami perluasan. Berangkat sebagai alat penerjemah sejarah kemerdekaan, kini mengalami transisi pada subjek di luar pahlawan yang dianggap menginspirasi publik. Diversifikasi cerita diperlukan untuk menjaga minat penonton terhadap jenis film ini.
Menonton film telah menjadi salah satu sarana hiburan yang mulai diperhitungkan setiap orang karena variasi cerita yang ditawarkan. Kisah romantis, alur penuh drama, berbalut teknologi canggih, aksi laga, penuh ketakutan, memicu emosi, hingga sebatas inspirasi.
Genre biographical motion picture atau dikenal dengan istilah biopik, menjadi salah satu yang menawarkan variasi cerita dari berbagai tokoh. Biopik secara harfiah salah satu dari genre film yang memiliki ciri khas latar belakang cerita mengenai kehidupan seseorang yang nyata dan non-fiksi. Umumnya, film biopik di Indonesia cenderung mengangkat perjalanan hidup seorang tokoh di balik peristiwa-peristiwa bersejarah dan erat kaitannya untuk merefleksikan kemerdekaan Indonesia.
Persepsi tersebut terlihat dari lahirnya film-film dengan ide cerita berangkat dari tokoh kemerdekaan seperti November 1828 (1979), Tjoet Nja’ Dhien (1988), Soerabaia ‘45 (1990), Soegija (2012), Soekarno (2013), Jenderal Soedirman (2015), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Wage (2017), Kartini (2017), dan Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).
Namun seiring berjalannya waktu, beberapa di antaranya juga turut serta menampilkan sosok individu yang dinilai memiliki semangat juang, kerja keras, pencapaian luar biasa, hingga kisah percintaan, seperti Gie (2005), Laskar Pelangi (2008), King (2009), Sang Pencerah (2010), Habibie & Ainun (2012), Sang Kiai (2013), Sokola Rimba (2013), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013 dan 2014), Jokowi adalah Kita (2014), Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014), Rudy Habibie (2016), Istirahatlah Kata-Kata (2016), Athirah (2016), 3 Srikandi (2016), Nyai Ahmad Dahlan (2017), Chrisye (2017), A Man Called Ahok (2018), Habibie & Ainun 3 (2019), Bumi Manusia (2019), 6,9 Detik (2019), Susi Susanti: Love All (2019), Kadet 1947 (2021), Srimulat Babak Pertama (2021), Buya Hamka Vol. 1 (2023), Hamka & Siti Raham (2023), Srimulat Babak Kedua (2023), Senyum Manies Love Story (2024), Glenn Fredly The Movie (2024), hingga selebriti internet (selebgram) Laura (2024).
Apabila melihat deretan judul film biopik di atas, meski tidak seeksis film horor dengan 21 judul dalam kurun waktu setengah tahun, tetapi film dengan kisah tokoh ini sedikitnya melahirkan satu judul setiap tahunnya.
Sebelum melangkah lebih lanjut, akademisi dari Fakultas Film & Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Yohanes Yoga Prayuda menerangkan rangkaian gambar berjalan yang menampilkan pesona elok seseorang ini tak serupa dengan dokumenter, mengingat adanya kesamaan klaim kisah tokoh. Alih-alih mengadopsi pendekatan dokumenter dengan cara naratif, detail-detail pada film biopik dimodifikasi untuk menciptakan suasana dramatis dengan teknik sinematik yang lebih kompleks.
“Mengutip dari Gerson R. Ayawaila, film dokumenter dibagi menjadi dua, yakni pendekatan naratif yang berdasarkan cerita terstruktur baik seperti fiksi, plot dan karakter yang bisa diidentifikasi dan dokumenter esai yang fokus pada eksplorasi ide serta tema tertentu. Sedangkan film biopik meski dengan pendekatan naratif, tetapi tujuannya dibuat dramatis dan interpretatif, ada kebebasan kreatif untuk menciptakan narasi yang menarik, secara tujuan seringkali lebih fokus memperkenalkan aspek-aspek yang menarik dari kehidupan dan pencapaian tokoh,” jelas Yohanes Yoga Prayuda pada KuatBaca.com, Jumat (02/02/2024).
Akademisi sekaligus praktisi film yang karyanya masuk nominasi terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2023 ini juga mengatakan secara historis, kebenaran pada film biopik tidak seperti dokumenter yang menekankan sisi realitas, tetapi kerap dilebih-lebihkan atau disederhanakan mengingat film harus mengalir.
“Film biopik seringkali melakukan interpretasi dramatis dari karakter dan peristiwanya, mengembangkan karakter lebih dalam, menekankan pada beberapa momen yang bersifat dramatis, atau menyederhanakan cerita untuk kepentingan naratif yang jauh lebih besar,” jelas Yoga.
Pernyataan Yoga senada dengan apa yang disampaikan oleh produser dari film Glenn Fredly The Movie yang diproduksi oleh DAMN! I Love Indonesia Pictures, Daniel Mananta ketika ditanyai mengenai presentase keaslian pada desain karakter dalam film garapannya mengatakan ada beberapa bagian yang disesuaikan dengan alur dan kebutuhan cerita.
“Desain karakternya itu satu hal yang menjadi jebakan untuk film maker adalah membuat plek-plekan banget sehingga menjadi seperti Wikipedia padahal ingin membuat drama dibalut dengan musik. I think kita lebih mementingkan cerita, ada beberapa bagian karakter dari mereka yang masuk ke dalam cerita ini, apakah semua tentu enggak, tapi bisa menjadi bagian yang masuk ke dalam cerita ini,” ujar Produser Daniel Mananta pada Press Conference Teaser Poster & Teaser Trailer Film 'Glenn Fredly The Movie', Rabu (24/01/2024).
Artinya, pada film biopik realitas bukan prioritas mengingat adanya toleransi dan penyesuaian pada keaslian cerita. Selain itu, pada realitanya film genre ini juga kerap dihadapkan oleh keterbatasan sumber dan informasi, sehingga ada upaya yang dilakukan sineas untuk mengisi kekosongan celah.
Sejalan dengan dorongan film sebagai salah satu sarana hiburan juga berdampak pada pemilihan tokoh dalam film biopik. Berangkat sebagai alat penerjemah sejarah kemerdekaan, kini mengalami transisi pada subjek di luar pahlawan yang dianggap menginspirasi publik.
Peralihan ini bukan tanpa alasan terjadi mengingat pada akhirnya film akan berlabuh pada penonton yang akan memahami cerita, Yoga menjelaskan minat dan preferensi hingga modernisasi secara budaya, teknologi, dan informasi memengaruhi pemilihan tokoh.
Di sisi lain, Yoga menekankan sebagai seorang sineas keberagaman tentu ditopang aspek diversifikasi cerita lantaran adanya kecenderungan rasa bosan apabila disajikan tontonan serupa. Salah satu solusinya dengan mencoba peruntungan komersial dengan mengangkat sosok yang memiliki kedekatan secara emosional dan basis penggemar luas, yakni publik figur seperti atlet, musisi, dan selebgram melalui film biopik.
“Industri film itu selalu berupaya untuk menghadirkan keberagaman dalam cerita karena kalau itu-itu saja bosan, memperluas jangkauan tokoh yang diangkat membuat industri film bisa memiliki opsi lebih banyak, terakhir potensi komersial mengingat film layar lebar saja sengaja memasukkan selebgram. Tujuannya untuk meramaikan yang diharapkan ketika filmnya naik, selebgram mempromosikan pada jutaan followersnya,” jelas Yoga.
Meski begitu, film biopik yang hadir diibaratkan membawa angin segar di tengah gempuran genre selera umum penonton ini justru tak dapat menembus 40 judul selama dua dekade eksistensinya. Sebagai pengamat industri perfilman, Yoga mengatakan alasan film biopik kurang tenar bukan hanya karena ketidaksepadanan antara biaya produksi dengan pendapatan, tetapi genre ini bukanlah genre utama seperti yang dipaparkan David Bordwell, yakni the western, the musical, the horror, dan the sport film juga menjadi alasannya.
“Kalau aku lihat nggak sebanding karena yang sukses di pasaran jumlahnya sedikit, memang tidak sepadan, karena tidak sepadan jumlahnya sedikit dan dikeluarkan pada momen-momen tertentu. Sedangkan, dari sejarah genre, biopik tidak ada di genre paling tua dan tidak masuk dalam 3 kategori film dengan penghasilan terbesar,” tutup Yoga. (*)
[INFOGRAFIS]