“Pemilu 2024 kali ini cukup unik, lantaran adanya ‘anomali’ perbedaan perolehan suara presiden dengan suara partai. Padahal dalam perspektif coattail effect, mestinya kandidat dapat mengerek suara parpol. Ini tidak terjadi, alih-alih suara kandidatnya rendah, sementara parpolnya tinggi dan menjadi pemenang pemilu. Begitu juga sebaliknya, suara kandidatnya tinggi. Akan tetapi, suara partainya tidak mampu mendominasi kemenangannya. Apa yang menjadi penyebabnya?”
Sepekan sudah pemungutan suara pemilihan umum (pemilu) 2024 yang dilakukan pada Rabu, 14 Februari 2024 telah berakhir. Perolehan suara kemenangan untuk salah satu pasangan calon (paslon) sudah bisa diprediksi. Begitu juga halnya, dengan kemenangan partai politik di pemilihan legislatif (Pileg) kali ini.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang dilakukan oleh KPU serta lembaga survei, menunjukkan jumlah suara yang diperoleh partai politik pada Pemilu 2024 diperkirakan tidak selaras dengan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hasil Real Count KPU serta dua lembaga survei lainnya seperti Litbang Kompas dan Charta Politika, menunjukkan Prabowo-Gibran menempati posisi teratas. Akan tetapi, meski suara paslon 02 tersebut lebih tinggi dibandingkan calon presiden (capres) lainnya. Namun, partai politik (parpol) pengusung pasangan tersebut tidak berada di peringkat pertama dari 18 parpol peserta pemilu.
Merunut dari hasil hitung cepat KPU terhadap perolehan suara Pileg 2024, hingga Rabu, 21 Februari 2024 pukul 18.00, dengan jumlah data masuk sebesar 60,15 persen, menunjukkan bahwa Partai Gerindra hanya mampu memperoleh suara dukungan sebesar 13,43 persen.
Parpol di bawah pimpinan Prabowo Subianto itu hanya mampu menduduki posisi ketiga setelah Partai Golkar yang menduduki posisi kedua dengan perolehan suara sebesar 15,09 persen dan PDIP menduduki posisi pertama dengan perolehan suara sebesar 16,94 persen.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman menyampaikan, peristiwa ketidakselarasan suara parpol dengan perolehan suara Pilpres pada pemilu 2024 kali ini, lantaran adanya efek ekor jas (coattail effect) dari Prabowo yang tak hanya dinikmati oleh partai Gerindra saja. Melainkan lebih merata ke seluruh partai pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Kami tetap bahagia lantaran pak Prabowo menjadi presiden. Artinya, efek keberpihakan yang diraih parpol lain sepadan dengan upaya yang dilakukannya untuk memenangkan Pak Prabowo,” ucap Habiburokhman.
Coattail Effect Prabowo Tak Hanya Untuk Gerindra Saja!
Selain itu, gaya kepemimpinan Prabowo juga menjadi faktor lainnya. Alih-alih memprioritaskan kehadirannya dalam kampanye partai Gerindra. Prabowo justru lebih sering hadir di kampanye parpol lain.
“Beliau ini memang Ketua Umum Partai Gerindra, tetapi mengakomodir parpol pendukung lain dengan sangat adil. Lihat saja sepanjang kampanye Pemilu 2024, beliau lebih banyak datang ke kampanye partai lain ketimbang ke partainya sendiri,” kata Habiburokhman.
Senada dengan Habiburokhman, Peneliti lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad menyampaikan coattail effect dari sosok Prabowo tidak sepenuhnya hanya milik Gerindra. Berdasarkan metode Exit Poll partai pendukungnya juga mendapat proporsi jatah suara yang hampir sama.
“Penjelasan yang kita temukan di dalam exit poll SMRC, itu ternyata suara Prabowo itu terbagi secara proporsional ke parpol lain. Terutama parpol pendukungnya, tidak hanya dominan suara Prabowo itu diambil oleh Gerindra. Golkar juga dapat dalam proporsi yang hampir sama dengan Gerindra. Misalnya, suara Prabowo itu 20% diambil Gerindra, 18% nya diambil oleh Golkar, dan parpol lainnya 10% nya,” kata Said kepada Kuatbaca.com melalui sambungan telepon, Kamis (22/2/2024) sore.
Muncul Fenomena ‘Split Ticket Voting’
Sehubungan dengan itu, Said menerangkan, Pemilu 2024 ini cukup unik. Lantaran berdasarkan pengalaman Pemilu sebelumnya, capres terpilih otomatis mampu mengangkat partainya. Terlebih dia ketum partai, misalnya Pemilu 2009 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menang, tapi juga mampu menggerek suara partai Demokrat menjadi pemenang.
“Emang unik pemilu kali ini, suara Prabowo namanya tidak terpusat pada satu partai gitu ya, tapi tersebar. Nah itu yang terjadi. Jadi masing-masing partai itu mengambil suara Prabowo. Beda dengan pemilu 2009 Pilpres SBY menang, Demokrat juga menang,” sambung Said.
Meskipun demikian, Ia membeberkan keunikan dalam peristiwa kali ini juga bisa terjadi karena adanya fenomena split ticket voting. Di mana, pemilih memberikan suara yang berbeda untuk partai dan capres.
“Mungkin salah satu jawabannya adalah split ticket voting. Jadi masyarakat kita ini semakin rasional melihat bahwa partai dan Pilpres ini dibedakan. Mereka memilih Prabowo Subianto karena sosoknya, tetapi partainya lain lagi, pertarungannya lain lagi. Karena kan di bawah sistem kita kan pemilihan juga ada nama-nama partai kan,” ungkap Said.
[INFOGRAFIS]
Jokowi Effect: Sumringah Buat Prabowo, Murung Buat Ganjar
Di lain pihak, ‘anomali’ pemilu kali ini juga dikeluhkan oleh capres 03, Ganjar Pranowo. Pasalnya, pasang pengusungnya yaitu PDIP menjadi pemenang di Pileg. Akan tetapi, dirinya menjadi posisi buncit di antara paslon lain.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Lili Romli menilai anomali ini bisa disebabkan beberapa faktor. Salah satunya, sosok figur baik itu Ganjar Pranowo atau pun wakilnya Mahfud MD kurang diminati oleh para pemilih.
“Anomali itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pak Ganjar itu sendiri yang kurang disukai oleh pemilih. Begitu juga dengan cawapresnya. Kompetisi Pilpres adalah memilih figur bukan parpol. Faktor ini yang membuat mereka tidak memilih kandidat tapi tetap memilih PDIP,” tegas Peneliti Senior BRIN, Lili Romli kepada Kuatbaca.com, Kamis (22/2/2024) pagi.
Selanjutnya, kata Lili, faktor lain anjloknya suara ganjar lantaran adanya Jokowi Effect. Tingkat kepuasan yang tinggi terhadap Jokowi memberi dampak pada kandidat yang didukung Jokowi yaitu Prabowo-Gibran.
“Semua orang mengetahui, pasangan 02 Prabowo-Gibran didukung oleh pak Jokowi sehingga pemilih yang puas terhadap pemerintahan dirinya menjatuhkan pilihannya kepada paslon 02 ini,” lanjut Lili.
Selain itu, menurut Lili, faktor terakhir bisa jadi karena tidak bekerjanya mesin partai dengan baik.
“Terakhir, bisa jadi ini juga gara-gara mesin partainya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Kemungkinan Caleg dari PDIP bekerja hanya bekerja untuk kemenangan dirinya, tapi tidak bekerja untuk kemenangan capres yang diusung,” cetus Lili.
Selaras dengan Lili, Peneliti lembaga survei SMRC, Saidiman Ahmad menilai keanehan ini juga karena ada faktor ekonomi voting. Di mana pilihan publik itu salah satunya ditentukan oleh evaluasi mereka terhadap kinerja pemerintah. Mereka memilih capres yang dianggap mewakili pemerintah.
“Approved rating Pak Jokowi kan sekitar 80%, jadi orientasi pemilih itu adalah orientasi ingin melanjutkan pembangunan yang ada sekarang yang diapresiasi sangat tinggi. Jokowi dekat dengan Prabowo, mereka akan memilih Prabowo,” jelas Said. (*)