“Kehadiran Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi sangat urgent dan penting untuk menutup celah dan menyempurnakan upaya pemberantasan korupsi. Karena dengan RUU ini, harta para pelaku korupsi dapat disita dan diambil negara, bahkan dalam skala tertentu menjadi ruang bagi upaya pemiskinan pelaku koruptor. Sayangnya, RUU ini sejak dibahas kali pertama tahun 2003 sampai saat ini belum jelas nasibnya.”
RUU Perampasan Aset atau awalnya dikenal dengan istilah asset recovery merupakan inisiasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) yang diadopsi dari The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
Pembahasan RUU ini sesungguhnya sudah dimulai tahun 2003 sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ditahun yang sama RUU ini untuk pertamakalinya masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Kemudian pada tahun 2010, pembahasan RUU ini sudah hampir selesai, tapi terhambat dengan keluar-masuknya dari daftar Prolegnas. Pada periode 2015 – 2019, RUU ini kembali masuk Prolegnas, tapi nasibnya tetap sama, yakni tidak dibahas dengan alasan DPR disibukkan pergantian keanggotaan pada akhir 2019. Kemudian, Terakhir pada tahun 2022, DPR sempat mengisyaratkan untuk memasukkan RUU ini ke Prolegnas Prioritas, faktanya DPR justru mencoretnya.
Tidak jelasnya nasib RUU Perampasan Aset di DPR, membuat Presiden Joko Widodo kemudian mengirimkan Surat Perintah Presiden (Supres) nomor R-22/Pres/05/2023 mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana pada Kamis, 4 Mei 2023. Di dalam surat tersebut termuat permintaan kepada DPR agar pembahasan dan persetujuan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas utama.
Melalui Surpres tersebut, Presiden menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjadi wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Perampasan Aset bersama DPR.
Di sisa waktu jabatan Anggota DPR yang akan berakhir Oktober 2024, publik masih mempertanyakan keseriusan DPR untuk menuntaskan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi UU. Jika tidak tuntas di tahun 2024, maka cerita akan berulang lagi di masa dewan baru periode 2024-2029.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih menilai bahwa RUU Perambasan Aset ini sangat penting dan krusial oleh sejumlah pihak sebagai solusi menyelesaikan sejumlah kasus seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang, korupsi, perdagangan orang, narkoba, hingga terorisme,” jelas Yenti Ganarsih.
Semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, RUU itu diharapkan bisa membuat pengusutan perolehan harta. Harapannya RUU ini bisa menjembatani norma illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh dengan tidak sah) yang sebetulnya ada di UNCAC, tapi belum ada dalam undang-undang kita.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, RUU Perampasan Aset dirancang supaya penggelapan uang atau kekayaan negara tidak lagi mudah dilakukan. Setelah RUU diratifikasi menjadi undang-undang, pelaku akan kesulitan mengalihkan harta hasil pidananya kepada orang lain. Aset para pelaku tindak pidana terkait, dapat langsung disita tanpa menunggu putusan pengadilan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana saat membuka diskusi ”Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana” di UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, upaya efektif untuk menumpas kejahatan dengan motif ekonomi adalah dengan merampas aset yang dapat menghidupi kejahatan tersebut menggunakan instrumen hukum yang disahkan dalam Undang-Undang yaitu dengan menggunakan RUU Perampasan Aset.
Faktor lainnya yang membuat RUU ini dianggap penting yakni, masih naik turunnya Indek Persepsi Korupsi (IPK) dalam kurun waktu 10 tahun belakangkan. Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan lembaga Transparency International.
KPK mencatat bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2023, pihak swasta menjadi pelaku tindak pidana korupsi terbanyak yang ditangani oleh KPK. Sebanyak 415 kasus yang ditangani KPK menetapkan pelaku usaha sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Selain itu, cukup banyak juga Pegawai Negeri Sipil (PNS) berpangkat tinggi yang terlibat kasus korupsi. Mereka terlibat dalam 363 kasus korupsi dalam periode waktu yang sama.
Sikap DPR
Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto dalam rapat dengar pendapat dengan Menko Polhukam Mahfud MD (29/03/2023) menilai, RUU Perampasan Aset akan mengubah cara hidup setiap warga di Indonesia jika kelak disahkan. Menurutnya, RUU ini akan menjadi RUU paling krusial di detik-detik akhir.
Bambang Wuryanto menambahkan, mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Dia menegaskan untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik.
"Pak Mahfud tanya kepada kita, 'tolong dong RUU Perampasan Aset dijalanin'. Republik di sini nih gampang Pak di Senayan ini. Lobinya jangan di sini Pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing," kata Bambang Wuryanto, Rabu (29/3/2023).
Sementara, Wakil Ketua DPR Lodewijk F. Paulus mengatakan belum adanya kepastian pembahasan RUU Perampasan Aset disebabkan masih adanya perbedaan sikap antara sembilan fraksi yang ada di DPR. Menurutnya sikap sembilan fraksi ini merupakan poin yang krusial untuk kemudian sebuah produk legislasi dapat dibahas hingga akhirnya diketuk palu.
Kekhawatiran Akan Adanya Abuse of Power
Sebagian pihak menilai, RUU Perampasan Aset seperti pedang bermata dua,yakni satu sisi mampu mengakselerasi bagi upaya-upaya pemberantasan korupsi, tapi sisi yang berbeda dapat memunculkan kerentanan atau berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (abuse of power) dan melanggar hak asasi manusia, termasuk hak kepemilikan (property rights).
Misalnya beberapa pasal yang perlu mendapatkan perhatian terkait hal ini adalah, Pasal 50 yang berbunyi: pengelolaan aset dilaksanakan oleh Jaksa Agung berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi dan akuntabilitas.
Kemudian di draf RUU juga tertera, bahwa pengelolaan aset oleh Jaksa Agung sudah dilaporkan ke Kemenkopolhukam karena pelaksanaan pengelolaan aset oleh Jaksa Agung sudah diatur dalam Pasal 51 draf RUU Perampasan Aset.
Pasal 51 ayat (2) menyebut tugas pengelolaan aset meliputi penyimpanan aset tindak pidana, pengamanan, pemeliharaan, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan hingga pengembalian aset tindak pidana.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zaenur Rohman mengungkapkan, pasca surpres diterima DPR, draf RUU Perampasan Aset harus dibuka. Pembahasan RUU oleh pembentuk UU juga harus membuka seluas-luasnya partisipasi publik.
Pembentuk UU harus membahasnya dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna. Jangan sampai dengan alasan RUU harus cepat disahkan, kemudian menihilkan partisipasi publik.
“RUU ini punya sisi yang harus diperhatikan oleh publik juga. Salah satunya risiko abuse of power atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum atau APH. Kewenangan APH terutama Kejaksaan sangat besar dalam RUU ini. Jika tidak diantisipasi bisa menimbulkan korupsi baru, karena bisa menjadi ladang mencari uang oleh APH,” ungkap Zaenur.
Zaenur menegaskan, risiko pengumpulan kekuasaan perampasan aset di Kejagung itu perlu didiskusikan secara intensif oleh publik. Sehingga diharapkan, ada keseimbangan instrumen hukum yang efektif untuk menjamin hak-hak warga negara dan menghindari penyelewengan kekuaasan. (*)
[INFOGRAFIS]