Persoalan sampah yang menggunung kerap kali ditemui di sejumlah kota besar di Indonesia. Faktor pemicunya pun beragam, mulai dari sistem manajemen yang kurang menunjang, lemahnya pengawasan, dan minimnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022 mencatat jumlah timbunan sampah nasional dari 309 kabupaten dan kota se-Indonesia mencapai 35,9 juta ton.
Dari total tersebut, sebanyak 62,51 persen (22,4 juta ton) dapat terkelola, sedangkan sisanya 37,49 persen (13,4 juta ton) belum terkelola dengan baik. Jenis sampah sisa makanan masih mendominasi dengan angka 40,6 persen. Menyusul di urutan kedua ada sampah plastik yang menyumbang 18,1 persen.
Menjawab permasalahan ini, sejumlah pemerhati lingkungan mengembangkan wirausaha yang disebut dengan ecopreneur. Berasal dari dua kata yaitu Eco dan Entrepreneur, mereka yang berkecimpung di bidang ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan tapi juga memperhatikan aspek lain terutama lingkungan.
Aspek mendasar dari kegiatan wirausahawan ini berorientasi pada komitmen untuk memperbaiki lingkungan dan komitmen untuk pertumbuhan bisnis. Kini, tren ini semakin mencuat di Tanah Air dan menjadi harapan baru untuk mengurangi menumpuknya sampah di Indonesia.
Nada Arini, Ecopreneur dan Founder dari Sustainable Indonesia, mengisahkan pengalamannya ketika pertama kali terjun ke dunia ecopreneur kepada Kuatbaca.com. Ia mulai tergerak untuk mengedukasi dan memberikan dampak pada lingkungannya ketika ia mengunjungi tempat pembuangan sampah terbesar di Jakarta, Bantar Gebang, pada 2015 lalu. Menurutnya, permasalahan sampah di Indonesia sudah sangat besar dan membutuhkan aksi kolektif dari masyarakat untuk sadar mengelola sampah.
“Kita buat edutrip ke Bantar Gebang, kita open for public, keluarga boleh ikut, anak kecil boleh ikut. Karena kita merasa pendidikan itu harus inklusif untuk semua orang. Kalau terkotak-kotak itu gak nyampe dampaknya,” ujar Nada Arini kepada Kuatbaca.com melalui panggilan telepon, Rabu (20/12/2023).
Dari sana, para peserta edutrip bisa berbincang dengan masyarakat sekitar dan diberikan pengetahuan terkait dampak sampah. Salah satunya, Pulau Pari yang terbilang jauh dari pusat keramaian tapi tak jarang ditemukan sampah. Setelah itu ia mulai aktif merambah di sosial media untuk memberikan edukasi lewat Sustainable Indonesia.
“Nah kami itu ada berbagi tips di sosial media, tapi juga ada workshop, tapi kami biasanya adakan workshop online, kami ajarkan cara-cara hidup sustainable living,” papar Nada.
Workshop yang disediakan oleh Sustainable Indonesia pun beragam, mulai dari mengompos, berkebun, fermentasi, pembuatan sabun natural dan banyak lagi. Tak disangka, dampak dari workshop ini semakin menjamur ketika diterapkan secara daring bahkan menjangkau luar Jawa, seperti Kalimantan dan Papua.
Workshop yang disediakan oleh Sustainable Indonesia beragam, mulai dari harga Rp100.000 hingga Rp250.000. Ada pula bentuk e-book edukasi terkait kompos seharga Rp50.000. Di samping workshop ini, Sustainable Indonesia juga kerap memberikan tips-tips gratis di YouTube maupun Instagram untuk mengajak masyarakat mengadaptasi gaya hidup berkelanjutan.
“Workshop kami pendampingannya dua minggu, jadi kami ingin orang-orangnya sampai bisa ngerjainnya. Kami tuh setahun bisa sampai 31 workshop, tapi ada yang berulang, ada juga yang setahun sekali,” jelas Nada.
Menelik dari perspektif lain, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan mencatat bahwa pengusaha industri kecil didominasi oleh perempuan, yakni memiliki populasi yang signifikan yakni mencapai 70,26 persen. Dari sisi tenaga kerja, data menyebutkan bahwa tercatat tenaga kerja perempuan pada industri kecil pada tahun 2022 sebanyak 4,58 juta atau hampir 49 persen dari total seluruh pelaku usaha sektor industri kecil di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Nada, bahwa yang tertarik untuk mengikuti workshopnya didominasi oleh perempuan, khususnya para ibu.
“Rata-rata pengolahan (workshop) di dapur, karena banyak ibu-ibu yang ikutan. Mereka para ibu yang biasa bertanggung jawab di rumah dan yang mempraktekkan sustainable living. Berdaya dari rumah, praktek dari rumah. Banyak juga dari mereka yang akhirnya barangnya dibuat jualan sama mereka,” ungkap Nada.
Merujuk data Kemenperin, kini populasi Industri Kecil dan Menengah (IKM) berjumlah 4,19 juta unit usaha atau mendominasi hingga 99,7% dari total unit usaha industri di Indonesia. Selain itu, IKM telah menyerap tenaga kerja sebanyak 12,67 juta orang atau menyumbang 65,52% dari total tenaga kerja industri. IKM pun turut andil sebesar 21,44% dari total nilai output industri.
Meski belum ada data yang pasti mengenai jumlah wirausaha yang mengadaptasi bisnis ecopreneur, Nada cukup yakin jumlah masyarakat dan pelaku usaha di bidang ini makin meningkat.
“Sekarang itu luar biasa sekali animonya, sudah banyak yang buka bank sampah dan dikelola sama masyarakat. Malah dulu itu ‘kan bank sampah ya yang kelola sampahnya dan akan membayar ke masyarakat, sekarang banyak banget bank sampah yang dikelola sama anak muda. Malah masyarakat lho yang mau membayar ke bank sampahnya,” tutur Nada.
Ia memberikan contoh, sampah organik yang disetor oleh pelanggan akan dikelola oleh bank sampah dan diubah jadi pakan ternak. “Kita pas buang sampahnya itu bayar biaya pickup-nya. Nanti pihak sana akan jual lagi dan bisa dapat uang lagi,” terang Nada.
Ia memberikan sejumlah contoh bank sampah yang namanya sukses dikenal baik oleh publik seperti Magalarva, Kompos Kolektif, Rekosistem, dan Armada Kemasan. Bahkan Rendria Labde selaku pendiri Magalarva masuk ke dalam nominasi ‘Forbes 30 Under 30 Asia 2021’ , ia berhasil mendapatkan pembiayaan modal sebesar USD 500 ribu atau sekitar Rp7,2 miliar.
Nada mengaku, ia merupakan satu dari banyak orang yang bersedia merogoh kocek sebesar Rp150.000 untuk berlangganan jasa dari Rekosistem untuk mengangkut sampahnya. Ia juga rutin melakukan pemilahan sampah rumah tangga setiap bulannya sebelum sampah siap dijemput Rekosistem.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, diperkirakan Indonesia menghasilkan 66-67 juta ton sampah pada 2019. Komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60 persen dari total sampah. Sampah plastik menempati posisi kedua dengan 15 persen dan sampah lainnya terdiri’ atas kertas, karet, logam, kain, kaca, dan jenis sampah Iainnya.
Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan salah satu bentuk modal sosial untuk menciptakan budaya bersih sebagai bagian dari identitas dan karakter masyarakat Indonesia. Ecopreneurship menjadi salah satu perwujudan kesadaran dan kesepahaman masyarakat terhadap permasalahan sampah dan bergerak untuk mengambil bagian dalam pengelolaan sampah.
Nada berharap setiap orang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dan tergerak untuk mulai berkontribusi dari kegiatan ini dengan praktek yang beragam. Ia pun turut memberikan tips untuk para pemula untuk ikut mengadaptasi sustainable living.
“Kita kan sama-sama masih baru menjalaninya, satu solusi belum tentu cocok buat satu orang atau satu komunitas, jadi lebih baik kita pilih dulu satu yang kita bisa kerjakan di hidup kita. Niat kita kan sama untuk menjaga lingkungan,” imbuh Nada.
Praktek berbeda tersebut bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor; seperti sumber daya, tantangan, maupun support system yang berbeda. Kendati demikian, dukungan dari sesama pelaku penggiat lingkungan adalah hal yang penting.
"Meski prakteknya bisa beda, karena tiap orang itu punya sumber daya yang beda, tantangan yang beda-beda, support system yang berbeda juga, kita jangan saling julid justru, kita saling dukung walau kita beda-beda prakteknya. Perubahan kalau gak dari kita, siapa lagi yang mau mulai kan,” tegas Nada.
Ia pun menyarankan agar mereka yang mau memulai mengadaptasi gaya hidup mencoba dari praktek yang termudah. Jika sudah konsisten, maka kebiasaan baru bisa mulai ditambahkan sehingga praktek tersebut bisa berdampak kepada lingkungan dan sekitar. (*)
[INFOGRAFIS]